
Generasi Produktif dan Perlindungan Anak: Membangun Indonesia di Era Bonus Demografi
Indonesia saat ini berada dalam fase penting, yaitu masa bonus demografi, yang berlangsung dari 2012 hingga 2035. Bonus demografi adalah kondisi di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), puncak usia produktif di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2020 hingga 2030. Masa ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, potensi bonus demografi ini tidak akan otomatis membawa keuntungan jika tidak diikuti oleh upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, diperlukan infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang memadai serta akses merata ke seluruh penjuru negeri. Indonesia telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang, termasuk dalam upaya menekan angka kemiskinan. Menurut data BPS, pada Maret 2024, angka kemiskinan tercatat sebesar 9,03%, yang merupakan angka terendah dalam satu dekade terakhir.
Menyiapkan SDM Berkualitas di Tengah Tantangan
Bonus demografi menciptakan peluang, namun juga tantangan besar, terutama dalam hal memastikan bahwa generasi muda yang masuk dalam usia produktif memiliki keterampilan dan pendidikan yang memadai untuk bersaing secara global. Ini tidak hanya terkait dengan ketersediaan lapangan kerja, tetapi juga kemampuan Indonesia untuk membangun SDM yang sehat, berpendidikan tinggi, dan mampu bersaing di tingkat internasional.
Namun, di tengah upaya menciptakan SDM unggul, Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam hal perlindungan anak-anak dan remaja, khususnya terkait berbagai tindak kejahatan. Anak-anak, sebagai bagian penting dari populasi, kerap menjadi korban dari kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Tindakan kekerasan fisik, seksual, hingga eksploitasi ekonomi sering kali menimpa mereka, menjadikan perlindungan anak sebagai isu krusial yang harus segera diatasi.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak rajaolympus login Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, menekankan pentingnya penanganan cepat terhadap kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai korban. “Perlindungan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) harus dilakukan dengan cepat, baik dari segi pengobatan, rehabilitasi fisik, maupun psikis dan sosial,” ungkap Nahar dalam sebuah kesempatan di Jakarta.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak, misalnya, membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Bukti-bukti kejahatan dapat hilang jika tidak segera ditindaklanjuti, dan hal ini bisa berdampak pada hak-hak korban yang tidak terpenuhi. Proses hukum yang lambat sering kali membuat pelaku tidak mendapatkan hukuman yang sesuai, dan korban seolah tidak diakui sebagai bagian dari kasus kriminal.
Selain itu, anak-anak yang menjadi korban juga memerlukan pendampingan psikososial selama proses pengobatan dan pemulihan. Kemen PPPA memastikan bahwa pendampingan ini dilakukan oleh berbagai pihak, seperti UPTD PPA, Dinas Sosial, serta Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas). Pendampingan ini penting agar proses pemulihan anak dapat berjalan dengan baik dan anak-anak tersebut dapat kembali ke kehidupan sosial yang normal.
Tantangan dalam Stigma Sosial Terhadap Anak Berkonflik dengan Hukum
Di samping tantangan dalam penanganan korban, stigma terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum masih menjadi masalah besar. Nahar menjelaskan bahwa masyarakat dan keluarga sering kali tidak siap menerima anak yang telah menjalani proses pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) kembali ke lingkungannya. “Ada tantangan ketika anak-anak ini kembali ke masyarakat karena adanya stigma bahwa mereka berbahaya atau akan mengulangi perbuatan melanggar hukum,” ujar Nahar.
Padahal, proses pembinaan di LPKA bertujuan untuk mengubah perilaku anak yang berkonflik dengan hukum, agar mereka dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat. Menurut Nahar, cara pengasuhan yang salah sejak dini sering kali menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku anak hingga akhirnya melakukan pelanggaran hukum. Pengasuhan yang keras, seperti membentak atau memukul, dapat meninggalkan trauma dan membentuk perilaku yang buruk pada anak. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan keluarga untuk tidak serta merta menyalahkan anak, tetapi juga mengevaluasi metode pengasuhan yang mereka terapkan.
Baca Juga : 5 Hal ini Bisa Jadi Bukti Kontribusi Nyata Untuk Negeri
Kasus kekerasan terhadap anak-anak terus menjadi perhatian pemerintah. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemen PPPA, sebanyak 4.749 perkara anak yang masuk ke Pengadilan Negeri selama periode Januari hingga Agustus 2023. Dari jumlah tersebut, 1.352 anak dijatuhi hukuman pidana pokok. Pencurian mendominasi dengan 475 kasus, diikuti oleh 458 kasus perlindungan anak, serta 108 kasus narkotika. Ada juga 25 kasus pembunuhan, 18 kasus kejahatan susila, dan 43 kasus pengeroyokan yang melibatkan anak-anak.